Jakarta, incatravel.co.id – Coba bayangkan ini dulu.
Kamu sedang duduk di warung kopi kecil di sudut kota tua. Tak ada sinyal Wi-Fi, tapi ada senyum ramah dari ibu pemilik warung dan obrolan ringan dengan penduduk lokal. Tak ada agenda terburu-buru, hanya menikmati waktu dan menyerap atmosfer tempat.
Itu bukan cuti biasa. Itu adalah bentuk liburan yang sekarang disebut sebagai slow travel.
Saat sebagian besar orang masih mengejar liburan cepat—3 kota dalam 2 hari, selfie di 10 spot ikonik, lalu balik kerja dengan wajah capek dan feed penuh—slow Itinerary Slow Travel justru menawarkan sesuatu yang berbeda. Lebih hening, lebih dalam, dan sering kali… lebih bermakna.
Dalam artikel ini, saya akan memandu kamu menyusun itinerary slow travel dari nol. Kita akan bahas definisi, filosofi, cara memilih tempat, menyusun rencana, hingga contoh itinerary lengkap yang bisa kamu tiru, semua dengan gaya naratif yang santai dan penuh insight.
Apa Itu Itinerary Slow Travel? Lebih dari Sekadar Jalan Santai
Slow travel bukan berarti lambat secara harfiah.
Ia adalah cara berpikir, cara menikmati perjalanan yang tidak sekadar “datang-ceklist-foto-pulang”. Konsep ini lahir dari semangat yang sama dengan gerakan slow food di Italia—menolak budaya instan dan superficial dalam menikmati hidup.
Prinsip dasar Itinerary Slow Travel:
-
Tinggal lebih lama di satu tempat, bukan buru-buru pindah kota
-
Berinteraksi dengan warga lokal, bukan hanya melihat mereka lewat kaca mobil
-
Mengurangi ketergantungan pada teknologi, dan menikmati keheningan
-
Mengutamakan pengalaman autentik, bukan hasil editan Instagram
Contoh nyatanya?
Daripada keliling 5 tempat wisata di Jogja dalam sehari, kamu habiskan 3 hari di satu desa di Sleman. Ikut panen cabai, belajar membatik dari ibu-ibu kampung, dan makan malam di pawon rumah tua. Capek? Iya. Tapi juga puas secara batin.
Cara Memilih Destinasi untuk Slow Travel: Tak Perlu Jauh, Asal Nyaman
Banyak orang berpikir slow travel harus ke pelosok negeri. Padahal, kamu bisa mulai dari tempat terdekat. Yang penting adalah suasananya kondusif untuk pelambatan ritme hidup.
Ciri destinasi ideal untuk Itinerary Slow Travel:
-
Tidak terlalu padat turis
-
Memiliki komunitas lokal yang terbuka
-
Punya pilihan akomodasi jangka menengah
-
Ada aktivitas budaya, alam, atau kerajinan yang bisa diikuti
-
Tidak menuntut jadwal ketat
Rekomendasi Lokasi Itinerary Slow Travel di Indonesia:
-
Sumenep, Madura: budaya pesisir dan kehidupan desa nelayan
-
Ruteng, NTT: panorama lembah dan kampung adat yang masih aktif
-
Ambarawa, Jateng: kota kecil dengan tempo lambat dan pemandangan danau
-
Minang Hinterlands (Solok–Bukittinggi): sawah bertingkat dan kuliner rumah
-
Buleleng, Bali Utara: sisi Bali yang jauh dari keramaian Canggu atau Kuta
“Saya pernah slow travel 6 hari di Batusangkar. Setiap pagi diajak ngopi bareng warga, siang bantu menjemur padi, malam ngobrol soal cerita-cerita lama. Tak ada itinerary rigid, tapi justru itu yang membuatnya berkesan.”
Menyusun Itinerary Slow Travel: Langkah Demi Langkah yang Masuk Akal
Itinerary slow travel itu beda. Bukan soal padatnya aktivitas, tapi tentang ritme yang nyaman dan terhubung dengan lingkungan. Berikut ini panduan menyusun itinerary khas slow traveler:
Langkah 1: Tentukan Durasi Minimal 4–7 Hari
Kenapa minimal segitu? Karena kamu butuh waktu adaptasi dan membangun ritme baru. Hari pertama biasanya masih ‘sibuk’ menyesuaikan diri, baru hari ketiga kamu mulai merasakan kedamaian slow travel.
Langkah 2: Pilih Satu Lokasi Utama, Jangan Banyak Pindah
Fokus ke satu kota, satu desa, atau satu kawasan. Alih-alih 5 tempat dalam seminggu, mending satu tempat selama seminggu.
Langkah 3: Rancang Kegiatan Berdasarkan Waktu Lokal
Contoh:
-
Pagi: ikut ke pasar tradisional
-
Siang: belajar kerajinan tangan atau masak bersama
-
Sore: baca buku di beranda, atau jalan kaki menyusuri kampung
-
Malam: ngobrol dengan pemilik homestay atau warga
Langkah 4: Sisipkan Hari Tanpa Agenda
Hari kosong adalah kunci. Saat kamu tidak merencanakan apa-apa, justru di situlah keajaiban sering terjadi.
Langkah 5: Dokumentasi Seperlunya
Foto dan catat, tapi jangan jadi budak konten. Biarkan memori hidup lewat rasa, bukan cuma gambar.
Contoh Itinerary Slow Travel 7 Hari di Sumba Barat Daya
Biar lebih konkret, berikut ini contoh itinerary slow travel yang bisa kamu pakai kalau ingin mencoba liburan lambat di Sumba.
1: Tiba di Tambolaka
-
Naik ojek ke homestay lokal di daerah Weetabula
-
Ngobrol dengan pemilik rumah soal adat dan tata ruang kampung
-
Makan malam sederhana: jagung bose dan ikan bakar
2: Jelajahi Pasar dan Sawah
-
Pagi ke Pasar Radamata
-
Siang ikut warga ke sawah
-
Sore menonton anak-anak desa main bola di lapangan tanah
3: Belajar Tenun dan Upacara Kecil
-
Pagi ikut workshop menenun kain Sumba
-
Siang diajak ke ritual adat pemanggilan hujan
-
Malam ngobrol dengan tetua adat
4: Hari Bebas
-
Tidak ada rencana
-
Jalan kaki ke perbukitan
-
Menulis jurnal atau membaca buku
5: Memasak dan Membatik
-
Masak bersama ibu-ibu desa
-
Bikin batik dengan pewarna alam
-
Malam diisi diskusi ringan soal pendidikan anak di desa
6: Wisata Alam Ringan
-
Trekking ringan ke Air Terjun Matayangu
-
Mandi di sungai alami
-
Piknik kecil bawa bekal dari rumah
7: Refleksi dan Kembali
-
Pagi bebas
-
Siang kembali ke kota
-
Malam terbang kembali sambil bawa banyak cerita
Catatan: Biaya penginapan sekitar Rp100–250 ribu per malam. Makan bisa Rp20–30 ribu sekali. Total biaya slow travel ini bisa lebih murah dibandingkan city-hopping ke 3 kota besar.
Tips Praktis Slow Travel: Bukan Gaya Hidup Mahal, Tapi Soal Niat
Slow travel bisa sangat hemat—kalau kamu benar-benar menjalankan esensinya. Berikut beberapa tips agar pengalaman slow travel kamu maksimal:
-
Bawa buku dan jurnal, bukan itinerary padat
Karena kamu akan lebih banyak duduk, mengamati, dan merenung. -
Gunakan homestay, bukan hotel
Interaksi dengan pemilik rumah itu priceless. -
Pelajari sedikit bahasa lokal
Bahkan sapaan sederhana seperti “selamat pagi” bisa mencairkan suasana. -
Buat batasan digital (digital detox)
Matikan notifikasi, batasi waktu layar. Rasakan hidup tanpa distraksi. -
Bawa hadiah kecil untuk warga
Misalnya: buku cerita untuk anak, biji kopi dari daerah asal, atau camilan khas. -
Jangan menilai tempat dengan standar kota besar
Tidak ada AC? Listrik mati? Itu bagian dari cerita.
Penutup: Slow Travel Adalah Perjalanan ke Dalam Diri
Di era ketika semua serba cepat, scrolling tanpa henti, dan hidup dikejar-kejar notifikasi, slow travel bukan cuma soal gaya hidup—tapi perlawanan lembut terhadap kelelahan kolektif.
Ia adalah bentuk perjalanan yang tidak hanya menjelajahi tempat, tapi juga menjelajahi diri. Kamu bukan sekadar turis, tapi penjelajah rasa. Kamu pulang bukan dengan oleh-oleh mahal, tapi dengan ingatan yang lebih dalam dari sekadar foto-foto.
Karena pada akhirnya, perjalanan terbaik adalah yang membuat kita lebih utuh.
Baca Juga Artikel dari: Review Villa Bali: Surga Tersembunyi di Balik Pagar Kayu
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Travel