Jakarta, incatravel.co.id – Ada satu titik di ujung timur Sumba yang kerap membuat jantung para pelancong berdegup lebih cepat. Bukan karena adrenalin, tapi karena takjub. Bukit Wairinding—sebuah lanskap yang tampak seperti hasil lukisan tangan Tuhan di atas kanvas bumi. Padang sabana membentang sejauh mata memandang, dengan kontur yang bergelombang seperti ombak beku, tenang namun penuh cerita.
Saya masih ingat jelas waktu pertama kali menapakkan kaki di sana. Udara pagi menyambut dengan lembut, dan matahari malu-malu mengintip dari balik awan. Di sebelah saya, seorang anak kecil dengan sarung khas Sumba tersenyum tanpa beban, seolah mengatakan, “Selamat datang di surga kami.”
Bukit ini tak hanya soal keindahan. Ia adalah jendela menuju jiwa Sumba. Sebuah ruang terbuka luas yang mengajak kita untuk berhenti sejenak dari bisingnya dunia, dan mendengar suara angin yang membisikkan sejarah panjang pulau ini.
Panorama yang Selalu Berubah, Tapi Tetap Memukau
Bukit Wairinding punya karakter unik: dia berubah warna sesuai musim. Di musim hujan, sabana hijau menyala seperti lapangan golf raksasa. Sedangkan di musim kemarau, rumputnya mengering menjadi kecoklatan, menciptakan nuansa eksotis khas Afrika yang menawan.
Para fotografer dan pemburu konten pasti akan jatuh cinta. Setiap sudut Wairinding terasa seperti spot foto yang sudah disiapkan dengan sempurna. Bahkan seorang influencer yang saya temui di sana sempat berkata, “Di sini, nggak ada angle jelek.”
Tapi lebih dari sekadar latar belakang foto Instagram, Wairinding punya cara sendiri menyentuh hati. Ia mengajarkan bahwa keindahan tidak harus ribut. Cukup diam, lalu biarkan alam yang bicara.
Jejak Kearifan Lokal di Balik Keheningan Bukit
Meski terlihat sepi, sebenarnya Wairinding menyimpan dinamika kehidupan. Masyarakat sekitar, terutama dari desa Pambotanjara, menjadikan area ini sebagai tempat penggembalaan ternak. Setiap pagi dan sore, kita bisa melihat siluet kuda dan sapi yang berjalan di tengah sabana, berpadu dengan langit jingga senja.
Tradisi Sumba yang kental juga terasa kuat di sini. Mulai dari busana tenun ikat khas hingga cara menyambut tamu dengan senyuman hangat. Tak jarang, wisatawan ditawari untuk menunggang kuda lokal dan diajak keliling bukit. Pengalaman yang sangat otentik dan tak bisa ditemukan di tempat lain.
Di sinilah terasa bahwa wisata bukan cuma soal melihat, tapi juga merasakan. Dan Bukit Wairinding tahu betul cara mengajarkan itu.
Akses Menuju Bukit dan Tips Ala Lokal
Untuk mencapai Bukit Wairinding, pengunjung harus menuju Waingapu, ibu kota Sumba Timur. Dari bandara Umbu Mehang Kunda, hanya butuh waktu sekitar 40 menit dengan mobil. Jalannya sebagian besar mulus, meski ada beberapa tanjakan kecil menjelang lokasi.
Saran saya: datanglah saat pagi atau sore. Dua waktu ini adalah golden hour alami untuk menikmati lanskap tanpa gangguan panas terik. Bawa air minum sendiri, alas kaki yang nyaman, dan tentu saja, kamera dengan memori kosong—karena kamu bakal banyak ambil gambar.
Jika ingin pengalaman lebih dalam, cobalah berbincang dengan penduduk setempat. Beberapa dari mereka bisa jadi guide dadakan yang membawa perspektif segar tentang tempat ini. Oh ya, jangan lupa bawa pulang kain tenun khas Sumba, simbol kecantikan budaya yang tak lekang oleh waktu.
Mencicipi Kuliner Khas dan Merajut Kenangan
Setelah puas menjelajah Wairinding, sempatkan mampir ke pasar lokal atau warung sederhana di Waingapu. Ada sup rumput laut segar yang sangat cocok disantap setelah lelah jalan kaki. Jangan lewatkan juga daging kuda asap, kuliner tradisional yang disajikan dengan sambal khas Sumba. Rasanya… menantang, tapi memorable.
Yang paling saya ingat adalah perbincangan dengan seorang ibu penjaga warung. Namanya Mama Ros. Dengan logat Sumba yang khas, ia berkata, “Wairinding itu bukan cuma bukit, tapi tempat untuk kembali. Kalau hati sedang ramai, datang ke situ, nanti tenang lagi.”
Kalimat itu terus terngiang sampai sekarang. Karena memang benar, beberapa tempat bukan hanya destinasi, tapi juga obat. Bukit Wairinding adalah salah satunya. Bukan hanya indah di foto, tapi juga menyentuh jiwa secara personal.
Penutup: Wairinding, Tempat Di Mana Langit Menyentuh Bumi
Di tengah gempuran wisata modern dan destinasi instan, Bukit Wairinding hadir sebagai pengingat bahwa yang sederhana sering kali paling mengesankan. Ia tidak butuh wahana bermain atau resort mewah. Ia hanya butuh kita yang mau melihat dengan mata jujur dan hati terbuka.
Jadi, kalau kamu sedang mencari tempat untuk menenangkan diri, memulihkan semangat, atau sekadar ingin merasa kecil di hadapan alam, Bukit Wairinding adalah jawabannya. Bawalah cerita, bukan hanya foto. Bawalah rasa syukur, bukan hanya oleh-oleh.
Karena sekali kamu datang, kamu akan tahu: Wairinding bukan sekadar bukit. Ia adalah perjalanan pulang ke dalam dirimu sendiri.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Travel
Baca Juga Artikel dari: Menyelami Keindahan dan Bahaya Gunung Merapi: Antara Pesona Alam dan Kekuatan Alam