Kunjungan saya ke Pura Besakih bukan direncanakan jauh-jauh hari. Sebenarnya, saya hanya ingin kabur sebentar dari hiruk pikuk Seminyak dan Denpasar. Saya cari suasana tenang, pegunungan, dan kalau bisa yang agak “sakral”. Seorang teman lokal langsung menyarankan, “Naik aja ke Besakih. Di sana kamu bisa merasa Bali yang sesungguhnya.”
Saya pun berangkat pagi-pagi sekali dari Ubud, dan perjalanan hampir dua jam terasa ringan karena pemandangan sawah dan pegunungan. Tapi begitu mobil mulai menanjak, kabut tipis turun, udara makin sejuk, dan saya tahu: saya sedang mendekati jantung spiritual Bali.
Lokasi dan Akses Menuju Pura Besakih
Pura Besakih terletak di lereng barat daya Gunung Agung, tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Gunung Agung sendiri dianggap sebagai gunung suci oleh masyarakat Hindu Bali, dan dipercaya sebagai tempat tinggal para dewa.
Meski jalannya berkelok, infrastruktur menuju pura sudah bagus. Banyak juga tur harian yang menyediakan layanan ke sana, terutama dari Ubud, Candidasa, dan daerah timur Bali lainnya.
Sesampainya di parkiran, saya disambut deretan warung kecil, pemandu lokal yang siap membantu, dan… sebuah gerbang besar yang mengarah ke kompleks pura yang luas.
Sejarah Pura Besakih: Jejak Peradaban Tua Bali
Menurut cerita yang saya dengar dari seorang pemangku (pemuka adat), Pura Besakih sudah ada sejak abad ke-8. Awalnya hanya berupa tempat suci kecil yang disebut Pura Basuki, yang dibangun oleh Resi Markandeya—seorang tokoh spiritual dari tanah Jawa.
Resi Markandeya disebut-sebut membawa ajaran Siwa-Buddha ke Bali, dan menetap di Gunung Agung. Dari sinilah berkembang tempat suci yang kemudian menjadi kompleks pura terbesar di Bali.
Nama “Besakih” berasal dari kata “Basuki”, yang berarti keselamatan. Ini mencerminkan peran pura ini sebagai tempat memohon berkah, perlindungan, dan harmoni bagi seluruh umat Hindu Bali.
Cerita ini juga bisa ditemukan dalam berbagai sumber budaya, termasuk catatan di Direktorat Jenderal Kebudayaan Indonesia yang menjelaskan asal-usul dan makna spiritual Pura Besakih secara rinci.
Kompleks Pura: Lebih dari Sekadar Satu Bangunan
Banyak orang mengira Besakih adalah satu pura saja. Padahal, begitu masuk, saya sadar bahwa ini adalah kompleks travel yang terdiri dari 86 pura besar dan kecil, semuanya terhubung secara spiritual dan arsitektural.
1. Pura Penataran Agung Besakih
Inilah pusat utama dari seluruh kompleks. Berdiri megah dengan latar Gunung Agung, pura ini memiliki tujuh tingkat yang masing-masing melambangkan lapisan spiritual. Tangga panjang dan menanjak membawa kita naik dari dunia fisik ke dunia spiritual.
Saya diam sejenak di bawah pelataran, mencoba menyerap atmosfernya. Ada rasa tenang yang susah dijelaskan. Mungkin karena suara gamelan dari kejauhan, atau mungkin karena udara pegunungan yang menyapu wajah.
2. Pura Batu Madeg
Letaknya di utara Penataran Agung. Saya sempat kesasar sedikit ke arah sini, tapi justru senang karena dapat pengalaman unik. Pura ini terkenal sebagai tempat pertama Resi Markandeya mendirikan tempat suci.
3. Pura Kiduling Kreteg dan Ulun Kulkul
Dua pura ini melengkapi orientasi spiritual Pura Besakih yang menggambarkan arah mata angin dan keseimbangan unsur semesta.
Saya terkesima dengan arsitekturnya. Setiap pura punya ciri khas: dari candi bentar (gerbang), meru (menara berlapis), hingga arca dan pelinggih yang detail ukirannya luar biasa halus.
Arsitektur Suci: Filosofi di Balik Setiap Batu
Salah satu hal yang membuat saya betah berlama-lama di Besakih adalah keindahan arsitekturnya. Tapi bukan sekadar cantik—melainkan penuh makna.
-
Arah bangunan selalu menghadap ke Gunung Agung (kaja kangin), sebagai arah spiritual tertinggi.
-
Tata letak pura mengikuti prinsip Tri Mandala: nista (luar), madya (tengah), dan utama (inti).
-
Ukiran dan simbol menggambarkan kisah Ramayana, Mahabharata, hingga filosofi hidup Bali.
Saya sempat duduk dekat meru tinggi, memperhatikan seorang pemangku yang tengah membersihkan pelinggih. Ia melakukannya perlahan, penuh hormat, dan tanpa tergesa. Dari situ saya belajar, bahwa dalam spiritualitas Bali, keteraturan dan kesabaran adalah bentuk doa.
Ritual dan Upacara: Detak Jantung Pura Besakih
Kalau kamu ingin merasakan kehidupan spiritual yang utuh, datanglah saat ada upacara besar. Salah satu yang paling terkenal adalah Upacara Eka Dasa Rudra, yang diadakan setiap 100 tahun.
Saya sendiri sempat menyaksikan Piodalan, perayaan ulang tahun pura, yang digelar setahun sekali. Warga dari seluruh Bali datang dengan pakaian adat putih dan kuning, membawa sesajen di kepala mereka.
Saya berdiri di antara keramaian, merasakan suasana suci tapi hangat. Gamelan mengalun, bau dupa menyeruak, dan awan kabut menggantung rendah di Gunung Agung. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak.
Banyak turis asing juga datang, tapi yang menarik, hampir semuanya diam dan khidmat. Seolah tempat ini punya aura yang membuat siapa pun menghormatinya secara otomatis.
Aturan dan Etika yang Wajib Diketahui
Ini penting banget, dan saya pelajari dari pengalaman langsung:
-
Wajib mengenakan kain dan selendang (bisa sewa di pintu masuk)
-
Dilarang masuk ke pelataran inti jika sedang menstruasi
-
Jaga ketenangan dan jangan berisik
-
Tidak boleh duduk di tempat yang lebih tinggi dari pemangku
-
Tidak diperkenankan teriak, selfie sembarangan, atau merusak properti pura
Pura Besakih adalah tempat ibadah, bukan tempat wisata biasa. Jadi sebagai pengunjung, kita wajib menghormati tempat dan tradisi di dalamnya.
Mitos dan Kepercayaan di Sekitar Besakih
Saya sempat diajak ngobrol oleh warga lokal dan mendengar beberapa cerita menarik. Salah satunya adalah tentang kesucian Gunung Agung yang diyakini sebagai “pusat energi Bali”.
Bahkan ada kepercayaan bahwa jika seseorang tidak bersih secara spiritual, mereka akan tersesat di kompleks pura. Mungkin karena areanya memang luas dan mirip satu sama lain. Tapi siapa tahu?
Ada juga kisah bahwa Pura Besakih selalu selamat dari letusan Gunung Agung. Bahkan saat letusan besar tahun 1963, lahar panas berhenti hanya beberapa meter dari pagar pura. Banyak yang percaya bahwa itu pertanda tempat ini dilindungi kekuatan ilahi.
Wisata Spiritual dan Edukatif
Yang saya kagumi, Besakih bukan sekadar tempat sembahyang. Tapi juga ruang belajar, baik untuk warga lokal maupun turis. Beberapa sekolah mengadakan kunjungan edukasi ke sini. Anak-anak diajak mengenal budaya Bali, nilai-nilai leluhur, dan pentingnya hidup selaras dengan alam.
Kalau kamu tertarik dengan studi spiritual atau arsitektur tradisional, Pura Besakih bisa jadi sumber inspirasi tak habis-habis.
Tips Kunjungan Praktis
Dari pengalaman saya, berikut tips agar kunjungan ke Pura Besakih makin nyaman dan bermakna:
-
Datang pagi (jam 7–9) untuk suasana sejuk dan tenang
-
Sewa pemandu lokal agar tahu kisah dan filosofi pura
-
Bawa air minum dan topi karena area luas dan cukup terik di siang hari
-
Sediakan uang tunai kecil untuk donasi atau persewaan sarung
-
Ikut saja arus lokal: kalau mereka diam, kita diam; kalau mereka berdoa, ikut hening
Dan satu lagi: jangan buru-buru. Tempat ini bukan sekadar untuk dilihat, tapi untuk dirasakan.
Apakah Saya Akan Balik Lagi?
Tanpa ragu, iya. Bahkan saya sudah berencana untuk datang lagi saat Galungan atau Kuningan. Bukan cuma karena keindahannya, tapi karena ada kedamaian khusus yang sulit saya temukan di tempat lain.
Besakih memberi saya pelajaran: bahwa spiritualitas bukan soal keyakinan saja, tapi soal kesadaran, kehormatan, dan hubungan kita dengan alam.
Pura lain yang tidak kalah indahnya: Pura Ulun Danu: Keindahan Pura Megah di Tepi Danau