Tresna Art: Galeri Cinta dan Budaya yang Menghidupkan Jiwa Bali

Jakarta, incatravel.co.id – Di tengah hiruk pikuk pariwisata Bali yang penuh dengan beach club, vila Instagramable, dan sunset nan dramatis, ada satu ruang tenang yang menyuguhkan kedalaman berbeda. Namanya Tresna Art. Kata “Tresna” dalam bahasa Bali berarti cinta. Dan benar saja, setiap sudut galeri ini berbisik tentang cinta—pada budaya, pada alam, pada manusia.

Tresna Art lahir dari keresahan seorang seniman Bali bernama Wayan Suteja. Ia tumbuh di tengah keluarga pelukis klasik Batuan, tetapi merasakan kegelisahan melihat banyak seni Bali dikomodifikasi demi wisata semata.

Alih-alih hanya membuat tempat pameran lukisan, Wayan menciptakan ruang interaktif tempat para seniman, penari, pematung, dan perajin bisa berproses, berdialog, dan berbagi jiwa.

Pertama kali saya menginjakkan kaki di sana, saya disambut bukan oleh suara gamelan keras atau atraksi tari untuk turis. Tapi oleh denting pelan lesung yang dimainkan seorang nenek sambil menyiapkan ramuan jamu. Di sudut lain, seorang remaja tengah membuat ukiran kayu sambil berdiskusi tentang makna simbol Barong dengan wisatawan Jepang yang tertarik spiritualitas Bali.

Itulah Tresna Art: bukan sekadar tempat melihat, tapi ruang untuk mengalami.

Konsep Galeri yang Hidup—Bersatunya Seni, Rasa, dan Ritus

Tresna Art

Tresna Art tidak dibangun dengan konsep “putih steril” seperti galeri-galeri seni kontemporer di kota besar. Tempat ini lebih menyerupai desa mini seni yang berdenyut. Bangunan semi terbuka, dominasi kayu tua, lantai tanah, dan taman bunga kamboja yang merebak ke mana-mana.

Setiap hari, aktivitas seni berlangsung alami. Di pagi hari, anak-anak lokal belajar melukis di bawah bimbingan guru seni dari ISI Denpasar. Siang harinya, ada workshop membuat topeng untuk pemula. Malam hari, panggung kecil menyala dengan pertunjukan tari klasik yang tidak didramatisasi, hanya dimainkan dalam ketulusan tradisi.

Wayan menyebutnya sebagai “seni yang hidup bersama waktu”. Tidak dipaksa, tidak dipoles, tapi organik dan jujur.

Ada satu sudut favorit di Tresna Art yang saya sukai: ruang perenungan kecil dengan dinding penuh tulisan tangan pengunjung. Ada puisi, sketsa, bahkan curhatan dalam berbagai bahasa. Salah satunya tertulis, “I cried here, not because I’m sad, but because I remembered who I am.”

Di sana, seni tidak berhenti di kanvas. Ia menyusup ke rasa.

Menggali Karya-Karya Unggulan—Perpaduan Klasik dan Eksplorasi Modern

Tresna Art bukan tempat yang menyuguhkan seni “kuno” semata. Meski akar utamanya adalah warisan Bali, galeri ini tidak takut mengeksplorasi bentuk kontemporer.

Karya unggulan di galeri ini mencakup:

  • Lukisan gaya Batuan dan Ubud klasik, dengan detil rapat dan narasi kosmologis.

  • Instalasi suara yang memadukan mantra tradisional dengan ambient music.

  • Seni tekstil eksperimental, hasil kolaborasi penenun tradisional dan desainer muda.

  • Karya foto esai, yang menangkap keseharian masyarakat desa dari lensa manusiawi.

Salah satu karya yang mencuri perhatian saya adalah “Ngayah Digital”—instalasi multimedia yang menampilkan anak muda Bali menari sambil dikelilingi proyeksi notifikasi media sosial. Ini satir, ini reflektif, dan ini menyayat hati.

Tresna Art juga kerap mengundang seniman dari luar Bali untuk residensi. Mereka tinggal di kompleks, belajar membuat canang, ikut ke pura, lalu mencipta karya berdasarkan pengalaman spiritual mereka.

Dengan demikian, Tresna tidak hanya melestarikan, tapi juga menyemai dialog lintas budaya.

Pariwisata yang Bermakna—Tresna Art sebagai Oase dari Turisme Instan

Bali adalah surganya pariwisata. Tapi di tengah euforia wisata massal, tak semua pengunjung benar-benar mengenal jiwa Bali. Banyak yang hanya melihat permukaan—menikmati sunset sambil selfie, lalu pulang membawa kenangan visual, bukan spiritual.

Tresna Art hadir sebagai kontra narasi dari pariwisata instan.

Di sini, wisatawan diajak tinggal lebih lama, mengikuti proses. Program “Art & Soul Immersion” selama 5 hari misalnya, memungkinkan peserta belajar menari, melukis, berkebun, dan bermeditasi dengan para tetua desa.

Salah satu peserta program asal Belanda, Sienna, mengaku bahwa pengalaman di Tresna mengubah cara pandangnya terhadap hidup. “Saya datang untuk mencari inspirasi desain. Tapi pulang dengan pemahaman bahwa hidup bukan soal kecepatan, tapi kedalaman,” katanya.

Program lainnya adalah “Karya untuk Komunitas,” di mana wisatawan dan seniman bersama-sama membuat mural atau perbaikan bangunan desa. Seni menjadi medium kolaborasi sosial, bukan sekadar tontonan.

Model pariwisata semacam ini—yang sering disebut slow tourism atau transformational travel—adalah masa depan Bali yang lebih lestari. Dan Tresna Art adalah pelopornya.

Harapan, Tantangan, dan Masa Depan Tresna Art

Tentu tidak mudah menjaga konsistensi dalam ruang yang mengandalkan idealisme seperti Tresna Art. Tantangannya banyak. Mulai dari biaya operasional, keterbatasan akses, hingga perubahan tren wisata.

Namun Wayan dan timnya percaya bahwa energi cinta (tresna) yang melandasi galeri ini akan menemukan jalannya.

Kini, Tresna mulai berjejaring dengan beberapa universitas seni internasional. Mereka merancang program pertukaran budaya dan pameran keliling. Bahkan tahun depan, mereka berencana membuka arsip digital interaktif tentang sejarah seni Bali berbasis cerita lisan.

Tapi lebih dari ekspansi fisik, Wayan berharap Tresna bisa menginspirasi ruang-ruang serupa di seluruh Indonesia. “Bayangkan jika tiap daerah punya galeri yang seperti ini—yang bukan sekadar tempat pajangan, tapi ruang hidup budaya,” ujarnya.

Dan bagi saya pribadi, Tresna Art bukan hanya galeri. Ia seperti napas panjang di tengah hiruk pikuk industri. Tempat di mana kita bisa berhenti sejenak, mendengar batin, dan mungkin… menemukan kembali apa makna ‘rumah’ dalam diri kita.

Penutup:

Tresna Art bukan tentang tren. Ia tentang esensi.

Ketika dunia bergerak terlalu cepat, tempat seperti Tresna menjadi pengingat bahwa keindahan sejati lahir dari ketulusan, proses, dan cinta.

Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Travel

Baca Juga Artikel Dari: Mengenal Curug Orok: Keindahan Alam di Jawa Barat

Kunjungi Website Resmi: bosjoko

Author