Jakarta, incatravel.co.id – Di balik gemerlap pariwisata Jawa Tengah, berdiri megah satu kawasan tinggi bernama Dataran Tinggi Dieng. Lokasinya terletak di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut. Tapi Dieng bukan sekadar tempat tinggi dan dingin. Dieng adalah tempat cerita lama, tempat di mana legenda, alam, dan budaya berbaur jadi satu.
Saat kami tiba pukul 05.00 pagi, kabut menyambut dengan tenang, menutupi panorama ladang kentang dan candi-candi tua. Seorang pemandu lokal bernama Pak Kirman—pria 50-an tahun dengan wajah legam khas pegunungan—berkata sambil menyesap kopi hitam, “Mas, di sini bukan cuma alam yang hidup. Cerita leluhur juga masih berjalan.”
Dan ya, itu bukan basa-basi.
Dieng sendiri berasal dari bahasa Kawi: “Di Hyang” yang berarti tempat para dewa. Masyarakat meyakini bahwa tempat ini dahulu adalah tempat pertapaan para resi dan dewa-dewa Hindu. Tak heran, di beberapa titik, masih ada candi-candi kecil yang berdiri sendiri, seperti Candi Arjuna, Candi Bima, hingga Candi Gatotkaca.
Sensasi saat berjalan di sekitar kompleks candi itu seperti kembali ke masa lampau. Udara dingin yang menggigit seolah menjaga keheningan abadi para leluhur. Dan di balik keheningan itu, tersimpan daya tarik spiritual yang sulit dicerna oleh logika modern.
Fenomena Alam Ekstrem di Tengah Surga Pegunungan
Yang bikin Dieng unik bukan hanya ketinggiannya. Tapi bagaimana ia mampu menggabungkan keindahan lanskap dengan potensi alam yang aktif dan liar.
Coba saja datang ke Kawah Sikidang.
Lokasi ini benar-benar seperti planet lain. Tanahnya bergolak, uap keluar dari berbagai celah, dan aroma belerang langsung menyergap begitu kita turun dari kendaraan. Kawah Sikidang terkenal karena lubang kawahnya “berpindah-pindah” seperti kijang (kidang dalam bahasa Jawa), karena itu dinamakan Sikidang.
Anekdot menarik datang dari wisatawan asal Surabaya yang saya temui di sana. Namanya Dilla, 26 tahun. Ia bercerita dengan setengah menahan mual karena bau belerang, tapi tetap semangat selfie di pinggir kawah. “Dari dulu pengin lihat kawah yang beneran mendidih, bukan cuma di buku IPA,” katanya sambil ketawa.
Selain Sikidang, ada juga Telaga Warna yang airnya bisa berubah-ubah tergantung sudut cahaya matahari dan kadar belerangnya. Warna-warna seperti biru, hijau toska, hingga keemasan bisa muncul bergantian.
Namun, perlu dicatat, Dieng juga punya iklim ekstrem. Pada musim kemarau, suhu bisa turun drastis hingga minus 4 derajat Celcius. Fenomena embun es yang oleh warga setempat disebut “bun upas” ini sering merusak pertanian, tapi juga menjadi daya tarik wisata tersendiri karena membentuk lanskap seolah-olah bersalju.
Anak Gimbal dan Budaya Leluhur yang Masih Bernapas
Jika ada satu tradisi yang membuat Dataran Tinggi Dieng berbeda dari tempat lain di Indonesia, maka itu adalah anak gimbal.
Fenomena anak-anak dengan rambut gimbal alami ini hanya terjadi di Dieng. Menurut kepercayaan masyarakat lokal, anak-anak ini adalah titisan roh leluhur. Gimbalnya tidak boleh dipotong sembarangan. Hanya boleh dilakukan dalam upacara khusus yang disebut “Ruwatan Anak Gimbal”.
Saya sempat mewawancarai seorang ibu bernama Bu Narmi, yang anaknya baru saja diruwat. “Anakku namanya Arif. Gimbalnya tumbuh sejak umur 2 tahun. Kami harus penuhi keinginannya dulu, baru bisa diruwat,” ceritanya sambil menunjukkan foto prosesi ruwatan.
Tradisi ini bukan sekadar potong rambut. Tapi rangkaian panjang doa, arak-arakan, dan ritual budaya yang melibatkan komunitas. Biasanya digelar setiap tahun dalam acara Dieng Culture Festival.
Dalam festival itu, tidak hanya ruwatan yang menjadi sorotan. Ada juga pertunjukan musik jazz di atas bukit, pesta lampion, hingga kuliner khas seperti mie ongklok, carica, dan purwaceng—semacam minuman herbal yang diyakini bisa meningkatkan stamina.
Budaya di Dieng tak pernah mati. Ia tetap hidup di antara ladang kentang, candi, dan kabut tipis yang menyelimuti setiap pagi.
Hiking ke Bukit Sikunir, Melihat Golden Sunrise Terbaik di Jawa
Bagi para pemburu matahari terbit, Bukit Sikunir adalah surga.
Letaknya tidak jauh dari Desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa. Untuk mencapai puncaknya, butuh hiking ringan selama kurang lebih 30-40 menit. Tapi percaya, setiap peluh yang jatuh akan terbayar lunas begitu sampai di atas.
Saya berangkat pukul 03.30 pagi, ditemani dua remaja lokal yang bertugas sebagai pemandu. Jalurnya gelap, udara tipis, dan suara-suara burung malam kadang terdengar jelas. Di tengah jalan, salah satu pemandu saya—Dika, 17 tahun—bercanda, “Mas, kalau dengar suara aneh, jangan tengok ya. Biasanya cuma suara angin. Atau… mbak-mbak dari masa lalu.”
Tiba di puncak, deretan gunung seperti Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan bahkan Slamet terlihat berdiri gagah. Saat matahari mulai muncul dari balik cakrawala, semburat warna emas memancar, dan saat itulah pengunjung kompak terdiam. Kamera diklik, tapi mulut jarang bersuara. Sunrise di Sikunir memang bukan sembarang sunrise. Ia bukan cuma indah, tapi menyentuh—seolah membisikkan bahwa hari baru selalu layak diperjuangkan.
Pulang dari Sikunir, biasanya traveler mampir ke warung kecil dan menyeruput teh jahe panas sambil makan gorengan. Momen sederhana tapi membekas. Di ketinggian lebih dari 2.300 mdpl, teh jahe terasa seperti dekapan.
Tips Berkunjung dan Potensi Pariwisata Berkelanjutan
Dataran Tinggi Dieng kini sudah mulai ramai dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Tapi perlu diingat, kawasan ini adalah zona rawan bencana geologi. Jadi, selalu cek kondisi terkini sebelum datang.
Beberapa tips dari pengalaman pribadi dan warga lokal:
-
Datang saat musim kemarau (Juni–Agustus) untuk menikmati embun es dan cuaca cerah.
-
Gunakan pakaian hangat berlapis, suhu bisa turun mendadak di malam hari.
-
Pakai masker saat ke kawah, aroma belerang bisa menyengat dan membuat pusing.
-
Hormati budaya lokal, terutama soal anak gimbal dan kawasan candi.
Pemerintah setempat dan komunitas warga kini sedang gencar mempromosikan konsep pariwisata berkelanjutan. Tujuannya menjaga ekosistem Dieng tetap lestari tanpa kehilangan nilai ekonominya. Edukasi wisatawan tentang pelestarian lingkungan, pembatasan jumlah kunjungan di spot-spot rentan, hingga pelibatan warga dalam pengelolaan homestay jadi langkah konkret yang dijalankan.
Dieng bukan tempat untuk sekadar datang dan pulang. Ia mengundang kita untuk mengenal, merasakan, dan membawa pulang pelajaran tentang bagaimana manusia, alam, dan budaya bisa hidup berdampingan.
Penutup:
Dataran Tinggi Dieng adalah mosaik utuh yang merangkum alam, sejarah, dan spiritualitas dalam satu kawasan. Dari candi kuno hingga kawah aktif, dari tradisi anak gimbal hingga sunrise yang meluruhkan hati—semua menyatu dalam satu nama: Dieng.
Tempat ini bukan sekadar destinasi, tapi pengalaman. Bagi siapa saja yang ingin lebih dari sekadar foto Instagram, Dieng memberi sesuatu yang lebih: rasa kagum akan hidup dan semesta.
Jika suatu hari kamu merasa jenuh dengan hiruk-pikuk kota, cobalah menyepi ke Dieng. Siapa tahu, kamu akan menemukan kembali bagian dirimu yang sempat hilang.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Travel
Baca Juga Artikel Dari: Dahab: Surga Tersembunyi Mesir yang Bikin Ketagihan